Resensi Naskah “Perguruan” karya Wisran Hadi
Naskah ini naskah yang cukup bagus, saya
bangga mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam produksi naskah ini. Saya
sangat menyadari bahwa saya pribadi adalah representasi dari sebuah gelombang
besar yang disebut dengan Globalisasi. bagaimana tidak, seorang keturunan Jawa
seperti saya, dapat memainkan sebuah lakon dengan latar kehidupan masyarakat
Minangkabau, dan mementaskannya di Semarang sebagai perwakilan dari rombongan
Jakarta. Globalisasi adalah peristiwa yang unik !. Berkaitan dengan keadaan
yang mengglobal ini, sangat disayangkan bahwa sumber-sumber untuk mendalami
naskah ini masih sangat minim dalam internet sebagai sumber yang paling mudah
diakses untuk orang-orang yang berminat terhadap seni namun tak punya waktu
banyak.
Resensi Naskah “Perguruan” karya Wisran Hadi
Judul Naskah :
Perguruan
Pengarang :
Wisran Hadi
Tahun : 1977
Halaman : 42
halaman
Sumber : Naskah
dirilis oleh Teater Bunga dalam rangka pementasan tunggal di Taman Budaya Raden
Saleh, Semarang pada 29 September 2017
kekerasan yang dikaitkan dengan
kegiatan keagamaan merupakan sebuah persoalan klasik, hal ini direkam oleh
Wisran Hadi dalam naskah yang terinspirasi dari sejarah gerakan Romantisme
Islam di Minangkabau pada akhir abad ke-18. Naskah ini menceritakan tiga tokoh
Islam terkemuka di wilayah Minangkabau yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, Haji Sumanik yang
disebut juga Tiga Tungku Sajarangan bagi rakyat Minangkabau yang baru saja pulang dari Makkah dalam rangka
menunaikan Ibadah Haji. Ketiganya berkenalan dengan sebuah aliran yang disebut
dengan Gerakan Wahhabi yang berkembang di Makkah saat itu. Terinspirasi dari
gerakan tersebut, ketiganya berusaha
melakukan pemurnian praktik agama Islam
di tanah Minang dengan cara yang radikal. Untuk memuluskan gerakan tersebut,
ketiganya meminta dukungan dari Tuanku Nan Tuo, salah seorang tokoh besar yang
cukup berhasil menyerukan gerakan pemurnian agama Islam di Minangkabau
sebelumnya. Ketiganya diwakili oleh Haji Miskin, yang datang selain meminta dukungan
juga memohon perlindungan dari Tuanku Nan Tuo. Disusul kemudian Nan Renceh (merupakan bekas
murid Tuanku Nan Tuo yang mendukung gerakan pemurnian yang dicanangkan oleh
Tiga Tungku Sajarangan) berusaha memohon dukungan dari Tuanku Nan Tuo. Namun, mereka tidak mendapatkan dukungan dari
Tuanku Nan Tuo yang memiliki paham yang lebih moderat dan menghendaki
pergerakan yang nir-kekerasan. sehingga menyebabkan terbentuknya dua kubu yang
saling bersebrangan yang menciptakan konflik yang menuai korban harta dan jiwa.
Mulai dari Terbakarnya Balai Adat dan juga beberapa tokoh yang diceritakan menjadi korban jiwa diantaranya adalah anak
dan istri dari Tuanku Nan Tuo, dan Ibu dari Tuanku Nan Renceh.
Konflik dimulai dengan ketika Haji
Miskin pembakaran Balai Adat oleh Haji
Miskin yang merupakan ikon penting bagi Masyarakat Adat Minangkabau karena
Balai Adat merupakan tempat permusyawaratan pegambilan keputusan penting di
daerah Minangkabau namun bagi tiga pembaharu tersebut memutuskan membumi
hanguskan bangunan tersebut selain karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
murni, tempat tersebut juga sering disalahgunakan menjadi tempat berjudi dan
yang menjadikan rakyat sebagai jaminannya. Setelah peristiwa tersebut, Haji
Miskin melarikan diri. Karena dianggap membuat keresahan masyarakat, Haji
miskin diburu oleh pihak keamanan yaitu Dubalang. Dubalang mencari Haji Miskin
dengan mengobrak-abrik Perguruan-Perguruan yang ada di Minangkabau yang akhirya
juga menyulut kemarahan para pengikut perguruan. konflik meningkat ketika pihak
kerajaan melaksanakan pesta di Bukit yang dianggap oleh para pengikut yang pro
sebagai tindakan balasan atas tindakan Harimau Nan Salapan (Para pemimpin
pergerakan pemurnian Islam) sehingga para pengikut tersebut melakukan serangan secara
membabi buta ke Bukit yang mengakibatkan anak dan istri Tuanku Nan Tuo
tewas.
Dikisahkan bahwa Guru (Tuanku Nan
Tuo) pada dasarnya menyetujui ide
ketiganya tentang perlunya pemurnian penyelenggaraan agama Islam dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau, dapat diketahui dari perlindungan yang
diberikan oleh Guru kepada Haji Miskin ketika Haji Miskin dikejar oleh Dubalang
meskipun Balai Adat adalah sesuatu yang berharga bagi masyarakat Minangkabau
terutama bagi Istrinya karena ayah sang istri adalah salah satu pendiri dari
Balai Adat tersebut. Namun Guru dengan teguh tidak menyetujui
gerakan mereka yang menginginkan adanya perubahan secara cepat dan cenderung
arogan yang menimbulkan pertumpahan darah. Pertentanan ini dapat dilihat dari
silang pendapat yang terjadi antara Guru dengan Lelaki (Haji Miskin) dan Pemuda
(Tuanku nan Renceh) yang terlihat dalam babak kedua dalam naskah ini. yang menurut saya diungkapkan oleh Wisran Hadi tanpa
meninggalkan nilai estetik dari sebuah karya sastra, berikut adalah kutipan
dialog antara Guru dan Pemuda (Tuanku Nan Renceh).
GURU : Nan Renceh.
Lama sekali aku tidak mendengar berita darimu selain berita pembunuhan itu.
PEMUDA : Betul guru. Berita
terburuk di balik maksud yang baik.
GURU : Maksud baik
yang dimulai dengan kekerasan.
PEMUDA : Kekerasan hanya
digunakan sebagai permulaan.
GURU : Permulaan yang
telah dialiri dengan darah.
PEMUDA : Darah pada mulanya,
kehidupan pada akhirnya.
GURU : Akhir
kehidupan yang dihiasi malapetaka.[1]
Di dalam Naskah ini Wisran Hadi tidak
hanya mengisahkan perseteruan antara tokoh-tokoh besar seperti perdebatan
antara Guru dan Haji Miskin maupun Tuanku Nan Renceh, tetapi juga mengisahkan
bagaimana perseteruan tersebut juga menimbulkan gejolak didalam masyarakat yang
diwakili oleh adegan para wanita dan pengikut. Bagaimana kondisi ini
menciptakan sebuah suasana yang penuh amarah, ketakutan, dan kesedihan yang
dialami oleh masyarakat ketika Balai Adat Terbakar. Selain itu diceritakan
kegelisahan setelah terjadi insiden pembunuhan yang dilakukan oleh Nan Renceh
Terhadap ibunya sendiri, maupun pembunuhan yang terjadi terhadap Istri dan
kedua anak dari Guru (Tuanku Nan Tuo) yang tidak diketahui siapa yang menjadi
pelakunya yang menjadi bagian dari klimaks cerita. Berikut salah satu prolog
dalam adegan pertama babak kedua dalam naskah Perguruan :
“Di tempat itu juga dalam kegelisahan yang
tiada tertahankan. Beberapa pengikut memandang ke satu arah sambil
menggeleng-gelengkan kepala tak berdaya. Mereka tidak setuju terhadap sesuatu
yang sedang terjadi, tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa wanita
ketakutan datang. Mereka saling berpandangan.”[2]
dialog dalam babak dua :
WANITA : Hanya
karena makan sirih! Makan sirih! Makan sirih saja harus dihukum, begitu kejam …
oi, mak.
WANITA : Tak
dapat diampuni, tak dapat. Dibutanya mata dan hatinya sendiri. Dilihatnya yang
memakan sirih itu bukan ibunya lagi. Itukah kebenaran yang murni ? itukah
kebenaran yang akan dijalankan ?[3]
Terdapat
masyarakat yang pro terhadap sikap Tiga Tungku Sajarangan tersebut, dan
disilain terdapat masyarakat yang kontra terhadap tindakan tersebut, pro kontra
ini menimbulkan rasa saling curiga yang berujung pada pertumpahan darah yang
digambarkan dalam babak keempat dalam naskah tersebut. Guru memilih untuk tetap
teguh dengan pendiriannya untuk tidak bertindak represif dan berseru bahwa
saling tenggang-menenggang, menghormati, dan rasa sabar adalah hal yang mulia
dan mesti dijunjung. Namun, tindakan guru ini dipandang oleh para pengikut baik
yang pro maupun yang kontra para sebagai cerminan ketidaktegasan dan
ketidaksigapan Guru terhadap Peristiwa yang terjadi oleh masyarakat. Sehingga memicu para pengikut mendesak guru
untuk memihak salah satu kubu.
Dalam dialog, secara tersirat maupun
tersurat, dibalik untaian dialog yang indah, Wisran Hadi mengajak pemain dan
penonton untuk mempertanyakan kebenaran. bagaimana perbedaan konsep kebenaran
yang dipahami oleh Haji Miskin, Nan Renceh, dan Tuanku Nan Tuo berkaitan dengan
penyiaran Islam dalam masyarakat Minangkabau. salah satu dialog antara Guru dan
Pemuda (Nan Renceh) dalam babak kedua :
PEMUDA : Tatacara
kebenaran adalah tatacara kita.
GURU : Tatacara
kita adalah saling menghormati.
PEMUDA : penghormatan
diberikan kepada yang patut dihormati.
GURU : Yang
patut dihormati adalah manusia.
PEMUDA : Manusia
yang menyandang kebenaran.
GURU : Manusia
yang memaklumi manusia.
PEMUDA : memaklumi
manusia dari kebenarannya.
GURU : Tepat!
Tidak dari tindakannya, bukan ?
PEMUDA : (Tertegun)[4]
kemudian ditutup
dengan dialog koor para pengikut dalam bagian akhir babak keempat. yang
disambut oleh latar suara azan.
PENGIKUT : Siapakah
yang benar diantara kita?
(DAN
AZAN PUN SAYUP-SAYUP TERDENGAR.
MEREKA
TERSENTAK DAN SEGERA KE LUAR.)[5]
Pada akhirnya, gerakan yang
dipelopori oleh Tiga Tungku Sajarangan melahirkan apa yang disebut dengan
Golongan Padri dan Golongan yang kontra terhadap gerakan tersebut menjadi
Golongan Adat. yang pada masa selanjutnya melahirkan apa yang disebut dengan
Perang Padri. Dalam Perang Padri tersebut, lahirlah tokoh besar seperti Tuanku
Imam Bonjol namun di sisi lain, akhirnya membuka celah bagi Belanda untuk
melakukan intervensi dan menguasai daerah Minangkabau.
Komentar
Posting Komentar