Hidup Harmonis bersama Kapitalis


 Dokumentasi pribadi pada Aksi Tolak Omnimbus Law di Jakarta

 Nila Rosyidah

Jauh sebelum ramainya isu Omnimbus Law ada sebuah berita di televisi tentang sebuah klinik kesehatan yang melakukan praktik aborsi, dan masyarakat sekitar sama sekali tidak ada yang menyadari bahwa klinik itu melakukan praktik ilegal, apalagi masyarakat daerah Cikini tersebut telah memiliki komunikasi yang baik dengan para dokter maupun perawat di klinik yang telah mengaborsi ratusan bayi yang tak berdosa.

Suatu hari masyarakat bengong ketika tiba-tiba datang serombongan polisi menggeruduk klinik tersebut, beberapa warga diwawancarai oleh wartawan salah satu televisi swasta, ya warga itu hanya bisa menceritakan kekagetannya, sambil membereskan diri karena menyadari wajahnya diliput sebuah stasiun televisi terkenal. Praktik ilegal itu tidak semata-mata digeruduk karena tindakan aborsi itu melanggar HAM, namun merupakan kelanjutan dari pembunuhan seorang Taipan Cina oleh selingkuhannya dan selingkuhan tersebut menggugurkan hasil cinta terlarangnya di klinik tersebut. barangkali, tanpa adanya peristiwa pembunuhan itu, tidak ada keributan, tidak ada gosip ditengah masyarakat Cikini tersebut, hidup akan tenang-tenang saja, apalagi siapa yang tidak gentar (walaupun Anda ‘merasa’ tidak bersalah atau memang benar-benar merasa tidak bersalah) dengan polisi yang mengendap-endap di sekitar rumah.

Tapi kali ini lain, hal yang agak ganjil terjadi di sisi kota yang lain, bersamaan dengan ramainya isu Omnimbus Law. barangkali Klinik di Cikini itu hanya membunuh orok-orok kecil dan tidak dalam jumlah yang masif dalam sekali waktu, di sana, ada banyak sekali orok yang dicabut nyawanya dan ada banyak orang yang mengantri sambil mengusap-usap pagarnya. Berhubung keadaan sedang paceklik, banyak orang yang menganggur, setengah menganggur, atau dalam rangka WFH (Work from Home) dia dinyatakan tidak menganggur memiliki waktu luang untuk memperhatikan, dan merasakan heran dengan keramaian tersebut.

Beberapa orang itu pun dengan keingintahuannya mencari tahu apa yang membuat keramaian terjadi. Ternyata, mereka akhirnya menemukan bahwa klinik tersebut melakukan malapraktik. Beberapa orang bersepakat untuk menggeruduk klinik itu, polisi pun datang bersamaan karena atas nama pandemi, orang-orang dilarang berkerumun. Polisi berbondong-bondong lengkap dengan peralatan gas air mata, bedil, dan dengan motor besarnya.

Tapi kali ini aneh sekali, bukan dokter atau perawat tersebut yang ditangkap, tetapi muda-mudi yang menggeruduk klinik tersebut. Dengan kagetnya muda-mudi itu lari tunggang langgang.

Seorang polisi berseru, “jangan berkerumun-jangan berkerumun !”

Seorang pemudi sambil berlari berteriak, “bapak saja berkerumun di atas mobil bapak dan menangkap kami dengan bergerombol”.

 

Pemudi yang menyebalkan itu lari, namun tidak lebih cepat dari motor besar polisi, Ia ditangkap. Sedangkan teman-temannya yang lain lari tunggang-langgang menghindari gas air mata dan beberapa digepuk.

Pemudi itu disekap dan hanya boleh pulang setelah di jemput oleh orang tuanya. Setelah Ia dijemput oleh Emaknya yang berjalan kaki jauh dari sudut kota.

Pemudi itu bertanya, “Mak, bukankah malapraktik itu salah?”

Orang tua pemudi itu hanya bisa diam cukup lama dan akhirnya membalas di tengah jalan yang sepi, “Nak, apapun yang dilakukan polisi, apapun yang dilakukan pemerintah, pastilah untuk kebaikan Alam semesta, ojo gumunan Nak, kawula mesti ikut pemimpin, maka kehidupan akan harmonis”

“Karena tidak ada Taipan yang terbunuh, Mak?”

“Tidak tahu, Mak pikir, Emak sudah bahagia kamu bisa pulang dengan keadaan yang utuh. Sekarang, kamu jangan terlalu sering main HP, jangan terlalu banyak media sosial, kamu nanti termakan hoaks, kamu dapat bantuan kuota belajar dari pemerintah ya dipakai buat yang baik-baik, jangan dipakai buat nyoraki pemerintah, enggak elok, enggak baik, belajarlah yang pintar, biar bisa jadi sekrup kapitalis, atau kalau bisa ya jadi Taipan, lalu engkau aku bunuh, mau ?”

Enggak Mak, aku mau hidup panjang”

Lalu pulanglah mereka. Karena lapar, mereka membeli gorengan di pinggir jalan, berisi beberapa bakwan dan pisang goreng dingin yang dibungkus dengan kertas bekas skripsi seorang mahasiwa di sebuah perguruan tinggi yang entah dimana lokasinya.

Klinik itu tetap melakukan aborsi, dan bersiap membuka cabang di berbagai daerah.

 

Jakarta, 14 Oktober 2020

Komentar

Postingan Populer